Pagi
yang cerah di suatu Sabtu, salah satu dari wanita itu membawa sapu dan kemoceng
di tangannya. Tubuhku di kibas – kibasnya dengan kemoceng warna – warni yang
lebih mirip rambut palsu seorang badut itu.
“ Ihh…”
aku bergidik geli, sofa di sebelahku ikut – ikutan tersenyum menyaksikan aku
kegelian
“ Akan tiba giliranmu”
ancamku padanya dengan setengah suara. Takut wanita itu mendengar, lalu
kemudian memukul badanku yang tambun.
Tiba
– tiba “Aduh!” aku meringis
kesakitan. Wanita itu menggeser posisiku dengan sekuat tenaga. Telapak kakiku
bersentuhan dengan lantainya yang licin, namun terasa menyakitkan
“ Huh”
dibantingnya tubuhku dengan kemoceng miliknya. “Ini sofa berat amat sih, makanya jangan duduk melulu, ntar makin
gembul” gerutunya. Aku kesal!, ingin rasanya kutinju wajahnya seandainya
aku punya tangan.
Wanita
itu baru berhenti setelah semua dari kami menahan geli karena kemocengnya dan mendengar
gerutunya yang menyebalkan. Dia, tersenyum puas!.
%%%%%
Sepeninggal
wanita itu, aku dan sofa yang lain langsung bercerita. “ Huh!, aku sebal saat wanita itu menggeserku dengan paksa”.
“ Iya, kulit telapak
kakiku lama – lama menipis karena ulahnya” timpal sofa
disebelahku
“ Kamu sih enak, posisi
dudukmu tak pernah berubah. Sudah itu kamu bebas nongkrongin TV saban hari” sungutku
pada sofa panjang yang terlihat angkuh di sudut favorit itu.
“Rumput tetangga tak
selalu hijau kawan“ sahutnya enteng. “Kamu mungkin tak tahu bagaimana tersiksanya aku saat salah satu dari
mereka tertidur di pangkuanku, apalagi jika tidurnya sampai ngorok dan ngences,
huh!. Belum lagi jika ke empat wanita itu menghempaskan pantatnya dengan paksa,
hmm…itu serasa memangku ratusan kilo kawan!”.
Aku
dan sofa disebelahku tersenyum membayangkan deritanya.
%%%%
Suatu
waktu ke empat wanita itu terlihat berkemas – kemas, kami menerka – nerka apa
yang sedang terjadi. Semua barang di bawah keluar satu – persatu, jendela di
tutup, kipas dan listrik di matikan, dan yang terakhir menutup pintu. Sebelum
wanita itu mengunci pintu dengan rapat, aku berteriak “ Kami, kok ngak ikut di bawah keluar?”. Namun wanita itu tetap
berlalu tanpa menghiraukan teriakanku.
Kami
bersedih, entah sampai kapan kami akan terkurung di rumah yang sepi dan gelap
ini.
Bertahun
– tahun sudah sejak mereka meninggalkan kami. Aku dan sofa yang lain semakin menua.
Kulit kami penuh debu, kaki – kaki kami mulai lapuk termakan rayap. Jelek,
kumal dan tak terawat.
“Argh..seharusnya
kami tidak membenci wanita – wanita itu, selama mereka disini kami terawat,
bersih dan kaki – kaki kami tidak di makan rayap” sesalku.
Pintu
berderit, tampaknya seseorang sedang berusaha masuk. Tanpa menunggu lama,
seorang pria paruh baya masuk dan menyalahkan lampu. Membuka jendela dan
terakhir memandangi kami sembari menutup hidung. Aku merasakan sesuatu yang
mencurigakan dengan pandangan pria itu.
“Sebaiknya kita jual
saja sofa – sofa ini ke tukang loak” ujarnya pada wanita
yang ikut menyusulnya masuk
“ Iya, kondisinya sudah
tidak memungkinkan untuk di renovasi” sahut wanita itu.
Tak
lama, sebuah mobil truk datang menjemput dan mengangkat kami satu persatu. Aku
berontak saat hendak di lemparkan ke atas truk hingga melukai tangan salah
satunya. “Syukurin!” kataku dalam
hati. Kami diangkut pergi dan dilemparkan di sebuah lokasi yang penuh dengan
sofa – sofa kumal.
“Yang sabar ya, suatu
hari nanti kita akan diambil dan dirubah menjadi sofa yang baru “
sebuah sofa hijau yang sudah buluk memberiku semangat.
Aku
mengangguk dan berharap menemukan pemilik baru sebagaimana wanita – wanita yang
dulu itu.
Manstaf :)
BalasHapus