Kamis, 22 September 2016

Sofa – Sofa Bercerita



 

Pagi yang cerah di suatu Sabtu, salah satu dari wanita itu membawa sapu dan kemoceng di tangannya. Tubuhku di kibas – kibasnya dengan kemoceng warna – warni yang lebih mirip rambut palsu seorang badut itu.
“ Ihh…” aku bergidik geli, sofa di sebelahku ikut – ikutan tersenyum menyaksikan aku kegelian
“ Akan tiba giliranmu” ancamku padanya dengan setengah suara. Takut wanita itu mendengar, lalu kemudian memukul badanku yang tambun.
Tiba – tiba “Aduh!” aku meringis kesakitan. Wanita itu menggeser posisiku dengan sekuat tenaga. Telapak kakiku bersentuhan dengan lantainya yang licin, namun terasa menyakitkan

“ Huh” dibantingnya tubuhku dengan kemoceng miliknya. “Ini sofa berat amat sih, makanya jangan duduk melulu, ntar makin gembul” gerutunya. Aku kesal!, ingin rasanya kutinju wajahnya seandainya aku punya tangan.
Wanita itu baru berhenti setelah semua dari kami menahan geli karena kemocengnya dan mendengar gerutunya yang menyebalkan. Dia, tersenyum puas!.

%%%%%

Sepeninggal wanita itu, aku dan sofa yang lain langsung bercerita. “ Huh!, aku sebal saat wanita itu menggeserku dengan paksa”.
“ Iya, kulit telapak kakiku lama – lama menipis karena ulahnya” timpal sofa disebelahku
“ Kamu sih enak, posisi dudukmu tak pernah berubah. Sudah itu kamu bebas nongkrongin TV saban hari” sungutku pada sofa panjang yang terlihat angkuh di sudut favorit itu.
“Rumput tetangga tak selalu hijau kawan“ sahutnya enteng. “Kamu mungkin tak tahu bagaimana tersiksanya aku saat salah satu dari mereka tertidur di pangkuanku, apalagi jika tidurnya sampai ngorok dan ngences, huh!. Belum lagi jika ke empat wanita itu menghempaskan pantatnya dengan paksa,  hmm…itu serasa memangku ratusan kilo kawan!”.
Aku dan sofa disebelahku tersenyum membayangkan deritanya.

%%%%

Suatu waktu ke empat wanita itu terlihat berkemas – kemas, kami menerka – nerka apa yang sedang terjadi. Semua barang di bawah keluar satu – persatu, jendela di tutup, kipas dan listrik di matikan, dan yang terakhir menutup pintu. Sebelum wanita itu mengunci pintu dengan rapat, aku berteriak “ Kami, kok ngak ikut di bawah keluar?”. Namun wanita itu tetap berlalu tanpa menghiraukan teriakanku. 
Kami bersedih, entah sampai kapan kami akan terkurung di rumah yang sepi dan gelap ini. 

Bertahun – tahun sudah sejak mereka meninggalkan kami. Aku dan sofa yang lain semakin menua. Kulit kami penuh debu, kaki – kaki kami mulai lapuk termakan rayap. Jelek, kumal dan tak terawat. 
“Argh..seharusnya kami tidak membenci wanita – wanita itu, selama mereka disini kami terawat, bersih dan kaki – kaki kami tidak di makan rayap” sesalku.

Pintu berderit, tampaknya seseorang sedang berusaha masuk. Tanpa menunggu lama, seorang pria paruh baya masuk dan menyalahkan lampu. Membuka jendela dan terakhir memandangi kami sembari menutup hidung. Aku merasakan sesuatu yang mencurigakan dengan pandangan pria itu.

“Sebaiknya kita jual saja sofa – sofa ini ke tukang loak” ujarnya pada wanita yang ikut menyusulnya masuk
“ Iya, kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk di renovasi” sahut wanita itu.

Tak lama, sebuah mobil truk datang menjemput dan mengangkat kami satu persatu. Aku berontak saat hendak di lemparkan ke atas truk hingga melukai tangan salah satunya. “Syukurin!” kataku dalam hati. Kami diangkut pergi dan dilemparkan di sebuah lokasi yang penuh dengan sofa – sofa kumal. 

“Yang sabar ya, suatu hari nanti kita akan diambil dan dirubah menjadi sofa yang baru “ sebuah sofa hijau yang sudah buluk memberiku semangat. 

Aku mengangguk dan berharap menemukan pemilik baru sebagaimana wanita – wanita yang dulu itu.






1 komentar: