Aku termangu mendengar
permohonan setulus hati dari Bapakku malam itu. Sebuah permintaan yang tak
ingin ku tolak namun tak ingin jua ku iyakan. Aku di perhadapkan pada sebuah
keputusan yang sulit. Ibarat sedang berada dipersimpangan jalan, aku tak
mengerti jalan mana yang harus aku pilih.
“ Kali ini aku sangat ingin melihatmu menikah dengan pria pilihan
keluarga” pintanya. Aku diam!
“ Tanpa bermaksud mengungkit masa lalu, aku telah membiarkanmu memilih
waktu itu, namun kebahagiaan belum berpihak padamu, Saya harap kamu mau
mempertimbangkan!”.
Ingin rasanya aku berteriak saat itu pada Bapak, namun tak tega membayangkan wajahnya yang memelas menjadi tambah sedih.
Ingin rasanya aku berteriak saat itu pada Bapak, namun tak tega membayangkan wajahnya yang memelas menjadi tambah sedih.
“ Ketika ku jalani kehidupan ini, jalan mana yang harus
kupilih?”
“ Ku tahu ku tak sanggup. Ku tahu ku tak mampu”
“ Hanya kau Tuhan, tempat jawabanku”
Tiga hari berlalu sejak
percakapan terakhir dengan Bapakku, tak juga kutemukan sebuah jawaban atas
permintaan itu. Sejuta keraguan berseliweran di pikiranku. “ Jika aku
mengiyakan, apakah mungkin pria yang mereka pilihkan bisa mencintai aku?,
bagaimana jika dia memperlakukanku dengan tidak baik?, Bagaimana saya harus
memulai komunikasi dengannya?, lalu bagaimana dengan dia sendiri, apakah dia
setuju dengan perjodohan ini?, relakah dia menggadai kebahagiaannya demi
keluarga?. Sungguh, aku menjadi semakin gila memikirkannya.
“ Tuhan, aku butuh petunjukMu!”
Suatu malam, aku baru bisa
tertidur menjelang dini hari. Aku gelisah karena tak jua menemukan jawaban atau
petunjuk dari yang Kuasa.
Lalu, aku melihat seorang ibu
sedang duduk menunggui makan dua orang. Sepertinya sih sudah dewasa, hanya saja
kok masih di jagain oleh sang ibu?. Aku penasaran, lalu mendekat. Seketika aku
sadari bahwa keduanya menderita cacat fisik dan mungkin juga kemampuan
berpikirnya. Si ibu terlihat sangat sedih, ini bisa saya simpulkan melihat
gurat – gurat kepahitan di wajahnya.
“ Anakku, sudah saatnya kamu mandiri!, karena aku sudah semakin tua. Yang
mungkin waktuku juga tak akan lama lagi, entah pada siapa kelak kamu akan
kutitipkan” isak si Ibu
Tak sadar aku meneteskan airmata.
“Mungkin kelak, Tuhan akan mengirimkan seseorang yang mau berbagi
kebahagiaanya denganmu. Aku selalu berdoa untuk mujizat itu”
Aku semakin terisak dan tiba -
tiba “ Kamu mimpi ya?, saya dengar kamu
menangis” tanya ibuku
Aku terbangun dan mengelap kedua
sudut mataku yang basah oleh airmata. “Ibu,
aku sudah menemukan jawaban atas permintaan kalian” sahutku
Kutinggalkan ibu yang sedang
menerka – nerka apa maksudku, sementara aku menuju jendela dan membiarkan udara
pagi masuk menyapa hatiku.
“ JanjiMu sperti fajar pagi hari, bersinar tepat pada waktunya”
Manstaf :)
BalasHapus