Kamis, 29 September 2016

Alasan Mengapa Masa Melajang adalah Hak Istimewa


dok " shesya21.blogspot.com



Malam minggu anda tiba – tiba menjadi galau karena melihat teman ada yang ngajakin nonton atau pergi berduaan?, Lalu kemudian mewek di sudut kamar dan merenungi diri, “ Ih,,,kurang apa ya saya, sampai hari ini belum punya pacar atau pasangan?”. Hmm…sebetulnya tidak ada kurang atau yang salah dengan anda kawan, hanya mungkin belum waktunya saja. Nah, daripada mewek di pojokan atau semakin galau karena hanya bisa nonton film korea yang romantis. Coba luangkan waktu sejenak untuk menyimak hak – hak istimewa bagi seorang lajang. Yang dimana hal ini belum tentu bisa kamu dapatkan setelah kamu menikah atau punya pacar nanti.

1.      Banyak Kesempatan

Percaya atau tidak banyak perusahaan atau tempat kerja yang lebih senang mempromosikan yang masih lajang. Alasannya karena mereka pasti lebih fokus dibanding yang sudah berumah tangga. Khususnya bagi perempuan nih, urusan keluarga dan anak bisa membuat prestasi kerja kita semakin  menurun loh. Nah untungnya bagi yang masih lajang, gunakan kesempatan yang ada untuk fokus memantapkan karir atau mengembangkan usaha.

2.      Lebih Fleksible

Akhir pekan diajakin teman liburan?, Nongkrong atau karaokean setelah jam kantor, atau tiba – tiba atasan anda meminta harus keluar kota saat ini juga. Nah, bagi yang masih melajang hal ini tentu tidak masalah kan?. Go ahead saja!. Coba kalau sudah menikah atau punya pacar, anda harus minta persetujuan suami atau pacar anda. 

3.      Beban lebih kecil

Beban bagi yang masih melajang tentunya lebih kecil dong. Anda tak perlu stress karena masakan anda tidak disukai mertua, anak yang sakit, suami yang kehilangan pekerjaan, dll. Mau bertingkah konyol, mau malas- malasan di akhir pekan, mau berpakain seenaknya, sah – sah saja. Tak akan seseorang yang akan berbisik begini “ Tertawanya jangan kencang – kencang dong, malu sama Tanteku” atau “ Sayang jangan pakai rok yang itu ya, ntar Mama ngoceh”. 

4.      Lebih dimaklumi 

Anda tidak bisa memasak rendang yang enak, malas bangun pagi, atau ogah- ogahan melakukan pekerjaan rumah. Orang – orang pasti bilang “ wajar, karena masih lajang!, coba nanti kalau sudah berumah tangga pasti belajar dengan sendirinya”.

Nah dari itu teman – teman, daripada galau tidak jelas, mendingan mamfaatkan waktu untuk menggali potensi. Tekuni hobbymu, ikuti kursus bahasa asing yang belum kamu kuasai, atau bergabung dalam komunitas yang sesuai hobby, dll. 

Sebagai penutup, ada satu lagi hak istimewa yang hanya dimiliki seorang lajang loh, yaitu ; Tidak akan ada yang marah ketika kamu “flirting”  atau “berdecak kagum” melihat makluk ciptaan Tuhan yang seksi “ hehe…

Sabtu, 24 September 2016

Di Dia Rongkaphi?




Pixabay photo
 
“ Hey Tiur!, dari tadi terlihat murung, ada apa?, ntar cepat tua loh” goda Nanik teman kerjanya
“ Ah..ngak kok Nik!” sahut Tiur berusaha menyimpan perasaannya
“ Ya sudah, ntar kalau pengen curhat jangan sungkan ya?”
Tiur mengangguk, teman kerjanya asal Jawa ini memang sangat pengertian. Perbedaan diantara mereka tidak pernah menjadi masalah.

Sepulangnya dari tempat kerja, Tiur langsung masuk kamar dan mengunci diri. Seakan tidak peduli pandangan heran teman – teman kosnya, Tiur merenung dan menangis sendirian di kamar. Lelah karena menangis, Tiur akhirnya terlelap hingga pagi datang menyapa. “Astaga, aku tertidur sampai pagi?, untung hari ini saya libur” gumam Tiur.

“Aha do huroha na pinaimam boru?, ahu nungga matua, molo boi nian pangidoan hu bah marhamulian ma ho!”. Tiur mengingat kembali permintaan Mamaknya, melalui telepon kemaren.

*****
Hari berlalu, permintaan Mamaknya masih menjadi beban dipikiran Tiur. Yang dikatakan Mamaknya semuanya memang benar, ajal bisa saja menjemput walau keadaan Mamak masih sehat. Akan tetapi melangkah ke jenjang pernikahan bukanlah hal yang mudah. Terlebih Tiur yang sudah menginjak usia tiga puluh tahun.
“ Susah do mangalului baoa na burju di Batam on, Omak” kata Tiur pada Mamaknya suatu kali.
“ Molo songoni di hutaon ma talului”
“ Eh tahe..Omak on, tong dang habis akal” pikir Tiur

Dulu Tiur pernah memiliki hubungan serius dengan seorang Pria. Pria yang menurut pandangan nya memenuhi kriteria menjadi suami. Namun saying, hubungan mereka harus berakhir karena orang tua pria itu mencari menantu yang selevel. “ Ya, paling tidak Bidanlah, masa kamu yang sarjana mau menikah sama yang lulusan SMA saja!” Mamak  pria itu memandang sinis padanya.
Tiur sedih, apalagi setelahnya pria itu memutuskan menikahi wanita pilihan Mamanya. Sejak itu, Tiur menjadi sedikit pesimis dan hati – hati memulai hubungan.
Tak sadar, kenangan akan masa lalu membuat kedua sudut matanya berkaca – kaca “ Aku tak boleh cengeng” gumam Tiur. Diambilnya gitar, lalu dengan segenap perasaan mendendangkan sebuah lagu

“ Muli dainang, ninmu tu ahu, dang naso olo ahu Inang”
 “ Alai di dia rongkaphi?, di dia rongkaphi?”
“ Nungga tung loja ahu, mangalului, dang jumpang ahu na hot di ahu”
“ So pambahenan na humurang, alai boasa ingkon sirang”

“ Molo tung sapata ma nasohot, mambahen bogashi gabe tarborot”
“ Sapata ni ise on oppung?, da mula jadi nabolon?”
“ Paboa ma tu ahu, paboa ma tu ahu”
“ Di dia rongkaphi?”

Mendengar suara merdu Tiur, teman – teman kosnya yang lain ikut bergabung dan bernyanyi bersama.









Jumat, 23 September 2016

Maafkan Hitamku


photo by dakwatuna.com

Acapkali lidah menorehkan merah
Pada luka yang tak mungkin mampu
Membendung kelam di pelupuk mata

Pun sikap yang kerap
Mengawini hati yang membiru
Menelorkan bibit – bibit amarah
Melahirkan anak – anak kecewa

Cobalah mengosongkan cawan sakit hati
Kan ku isi dengan semangkuk sesal
Kuaduk bersama secangkir maaf
Kuramu sebagai penawar dendam

Adakah mungkin putihmu
Mampu memberi maaf atas hitamku
Atau setidaknya ijinkan aku menjadi abu – abu
Untuk selalu berada diantara keduanya

Note : Untuk teman dan keluarga yang telah terlukai perasaanya olehku. Puisi ini mewakili penyesalanku.

Kamis, 22 September 2016

Sofa – Sofa Bercerita



 

Pagi yang cerah di suatu Sabtu, salah satu dari wanita itu membawa sapu dan kemoceng di tangannya. Tubuhku di kibas – kibasnya dengan kemoceng warna – warni yang lebih mirip rambut palsu seorang badut itu.
“ Ihh…” aku bergidik geli, sofa di sebelahku ikut – ikutan tersenyum menyaksikan aku kegelian
“ Akan tiba giliranmu” ancamku padanya dengan setengah suara. Takut wanita itu mendengar, lalu kemudian memukul badanku yang tambun.
Tiba – tiba “Aduh!” aku meringis kesakitan. Wanita itu menggeser posisiku dengan sekuat tenaga. Telapak kakiku bersentuhan dengan lantainya yang licin, namun terasa menyakitkan

“ Huh” dibantingnya tubuhku dengan kemoceng miliknya. “Ini sofa berat amat sih, makanya jangan duduk melulu, ntar makin gembul” gerutunya. Aku kesal!, ingin rasanya kutinju wajahnya seandainya aku punya tangan.
Wanita itu baru berhenti setelah semua dari kami menahan geli karena kemocengnya dan mendengar gerutunya yang menyebalkan. Dia, tersenyum puas!.

%%%%%

Sepeninggal wanita itu, aku dan sofa yang lain langsung bercerita. “ Huh!, aku sebal saat wanita itu menggeserku dengan paksa”.
“ Iya, kulit telapak kakiku lama – lama menipis karena ulahnya” timpal sofa disebelahku
“ Kamu sih enak, posisi dudukmu tak pernah berubah. Sudah itu kamu bebas nongkrongin TV saban hari” sungutku pada sofa panjang yang terlihat angkuh di sudut favorit itu.
“Rumput tetangga tak selalu hijau kawan“ sahutnya enteng. “Kamu mungkin tak tahu bagaimana tersiksanya aku saat salah satu dari mereka tertidur di pangkuanku, apalagi jika tidurnya sampai ngorok dan ngences, huh!. Belum lagi jika ke empat wanita itu menghempaskan pantatnya dengan paksa,  hmm…itu serasa memangku ratusan kilo kawan!”.
Aku dan sofa disebelahku tersenyum membayangkan deritanya.

%%%%

Suatu waktu ke empat wanita itu terlihat berkemas – kemas, kami menerka – nerka apa yang sedang terjadi. Semua barang di bawah keluar satu – persatu, jendela di tutup, kipas dan listrik di matikan, dan yang terakhir menutup pintu. Sebelum wanita itu mengunci pintu dengan rapat, aku berteriak “ Kami, kok ngak ikut di bawah keluar?”. Namun wanita itu tetap berlalu tanpa menghiraukan teriakanku. 
Kami bersedih, entah sampai kapan kami akan terkurung di rumah yang sepi dan gelap ini. 

Bertahun – tahun sudah sejak mereka meninggalkan kami. Aku dan sofa yang lain semakin menua. Kulit kami penuh debu, kaki – kaki kami mulai lapuk termakan rayap. Jelek, kumal dan tak terawat. 
“Argh..seharusnya kami tidak membenci wanita – wanita itu, selama mereka disini kami terawat, bersih dan kaki – kaki kami tidak di makan rayap” sesalku.

Pintu berderit, tampaknya seseorang sedang berusaha masuk. Tanpa menunggu lama, seorang pria paruh baya masuk dan menyalahkan lampu. Membuka jendela dan terakhir memandangi kami sembari menutup hidung. Aku merasakan sesuatu yang mencurigakan dengan pandangan pria itu.

“Sebaiknya kita jual saja sofa – sofa ini ke tukang loak” ujarnya pada wanita yang ikut menyusulnya masuk
“ Iya, kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk di renovasi” sahut wanita itu.

Tak lama, sebuah mobil truk datang menjemput dan mengangkat kami satu persatu. Aku berontak saat hendak di lemparkan ke atas truk hingga melukai tangan salah satunya. “Syukurin!” kataku dalam hati. Kami diangkut pergi dan dilemparkan di sebuah lokasi yang penuh dengan sofa – sofa kumal. 

“Yang sabar ya, suatu hari nanti kita akan diambil dan dirubah menjadi sofa yang baru “ sebuah sofa hijau yang sudah buluk memberiku semangat. 

Aku mengangguk dan berharap menemukan pemilik baru sebagaimana wanita – wanita yang dulu itu.